27
Apr
09

MUI dan Petaka Kemusliman

Sejatinya, Allah menghendaki agar setiap muslim selalu mengkondisikan-diri dalam usaha keselamatan orang lain. Karena itu, seorang yang Islam, harus memiliki penguasaan ilmu (keulamaan) dalam segala aktivitasnya.

Keulamaan akan mengarahkan tiap individu kepada tindakan untuk memudahkan orang lain. Menyingkirkan duri dari jalan pun merupakan tindakan yang mengandung sifat keulamaan (alhadist).

Menyingkirkan duri dapat pula diterapkan pada tindakan (amalan) yang lebih luas. Memberi aba sebelum kita berbelok ketika berkendara, semata-mata untuk memudahkan pengendara lain agar tidak dibuat kaget. Disitulah terkandung amalan yang sekaligus sebagai ibadah.

Mungkin saja kita dapat selamat tanpa memberikan aba. Akan tetapi, dengan mengabaikan keberadaan pengendara lain, amalan kita tidak memiliki nilai ibadah. Hal yang demikian lebih mengindikasikan sebagai sikap menang-menangan, sikap yang tidak islami.

Kelengahan selalu dekat dengan kesulitan dan cenderung mencelakai. Itu sebabnya Islam mengajarkan kita selalu dalam kondisi setimbang (berendah hati). Bangga karena memiliki sifat keulamaan pun dapat pula mencelakai orang lain maupun diri-sendiri.

Mengaku diri sebagai ulama akan mengarahkan pada kesombongan dan keangkuhan. Apalagi jika dilembagakan macam Majelis Ulama Indonesia (MUI) itu. Keangkuhan dalam jamaah akan mendorong pada sikap yang berlebihan dan sulit dicegah. Jika sudah “kebelet” main fatwa, petaka iman pun dapat mudah terjadi.

Labelisasi Halal merupakan bentuk kesombongan lain disamping fatwa. Sekarng, daging babi sudah “dihalalkan” masuk ke perut kita. Mengkambing-hitamkan tukang tempel stiker, atau menuding produsen itu lebih mencerminkan kebodohan atas labelisasi itu sendiri.

Ulama itu manusia biasa. Orang yang memiliki sifat keulamaan, justru tidak menonjolkannya terhadap yang lain. Muhammadiyah, dalam hal ini, dapat menjadikan kita sedikit berbesar hati. Budaya mengkyaikan dan mengulamakan seseorang, akan cenderung mematikan kepekaan seorang muslim atas lingkungannya.

Karena itu, jangan ucap lagi Pak Kyai atau Ulama kepada mereka. Dengan demikian kita tidak ikut-ikutan menyumbat mata dan telinga keulamaan umat Islam.


8 Tanggapan to “MUI dan Petaka Kemusliman”


  1. 1 Abu Gibran
    01/05/2009 pukul 6:58 AM

    Sebenarnya sebutan Kyai adalah sebutan (gelar) yang diberikan masyarakat kepada seseorang yang dianggap mempunyai “ngelmu” agama yang mumpuni dan akhlak yang layak dijadikan uswah (teladan). Jika ada seorang yang mengaku kyai, maka sah-sah saja bila orang menganggap sombong, apalagi seorang yang mengangkat diri menjadi “kyai” atau “imam”, karena yang mengangkat seorang imam adalah masyarakat, pun yang mengangkat seseorang menjadi kyai adalah masyarakat juga.Singkat kata seorang ulama adalah seorang yang punya ilmu dan mau mengaplikasikannya/mengamalkan dalam kehidupan sehari-hari dan bisa menjadi teladan/panutan bagi masyarakat sekitarnya (wallahu a’lam)

  2. 2 Rangon el Tobor
    02/05/2009 pukul 9:59 AM

    Justru menjadi kian runyim lah ketika kita gemar “menobatkan” mereka seolah benar telah menguasai ngelmu tadi. Bisa berarti kita juga yang “mendorong” MUI membuld0zer mimpi jutaan anak-anak petani tembakau, buruh pabrik, distribusi dan perdagangan rokok hanya dengan sebuah fatwa yg mengharamkan rokok.

    Gaswatnya lagi, jika badut-badut Front Pembela Islam (FPI) ikutan latah. Asma Allah akan diteriakan untuk melibas !

  3. 3 Roxajabrondol
    24/05/2009 pukul 11:44 PM

    Sebagai sesuatu yg telah di anggap oleh masyarakat, hendaknya lebih merasa bertanggung jawab kepada yg telah menganggapnya.
    Agar lebih bisa mendidik, bukan mematikan akal, agar lbh bsa menumbuhkan kemauan dan bukan paksaan.
    Bukankah yg begitu yg jadi contoh ?

  4. 4 Rangon el Tobor
    25/05/2009 pukul 2:35 AM

    Contoh yang efektiv itu hrs lbh konkret kpd kegiatan usaha yang terencana dan sistematis.

    Maka mustahil Islam akan mendapatkan simpati dari umat manusia, jika muslimnya tidak mampu mengimplementasikan ajaran-ajaran kpd tindakan nyata.

    Kyai dan ulama kita malah ngomong doank. Tiap hari cuma pakai sarung. Mereka anjurkan umatnya untuk banyak-banyak sodaqah, tapi ia sendiri yang berharap-harap bisyaroh. Ckakakak …

  5. 6 Bejo Pringgodiharjo
    04/06/2009 pukul 5:02 PM

    Tahu kenapa orang Arab memakai sarung bukannya celana???????/

    • 7 Rangon el Tobor
      04/06/2009 pukul 5:51 PM

      Yg Anda tanyakan, Arab pd abad k brp? Toh, orang2 yg sezaman dg nabi Adam, mungkin blum ada kain…

  6. 8 Bejo
    05/06/2009 pukul 6:09 AM

    Krn kalo pk celana, ntar ngecap GD:P


Tinggalkan komentar


April 2009
S M S S R K J
 123
45678910
11121314151617
18192021222324
252627282930  

Kategori

Blog Stats

  • 4.453 hits

Flickr Photos